Powered By Blogger

Monday, March 24, 2014

Kau dan Kain-kain


Oleh: Faqih Hindami

Kau dan kain-kain itu
berjalan menanggalkan mewah dunia
bersama tari rumput-rumput basah
ke tepi-tepi sungai yang mengalir airnya
sebelum bersua kau dengan sejuk udara dan jernih telaga.

Kain-kain itu, yang menjaga rapi indah dirimu,
menjelma jadi sayap-sayap waktu
menerbangkanmu di atas pendar pelangi
melewati tangga-tangga langit, tinggi ke sudut-sudut galaksi.
Sebab di antara nebula telah dimegahkan singgasana abadi
buat kau yang suci.

Kita dan Cinta


Oleh: Faqih Hindami

Cinta itu megah
Bahkan terlalu megah untuk dijadikan alasan buat kita saling menjamah
Cinta itu mulia
Bahkan terlalu mulia untuk dijadikan sebab kita berkhalwat terlalu lama
Cinta itu suci
Bahkan terlalu suci untuk sekedar dijadikan rumah bagi kita bersua
Cinta terlalu agung buatku
Maka aku memilih untuk tidak mencintaimu dengan cinta

Depok,
21 Maret 2014

Tanpa Judul


Oleh: Faqih Hindami

Jarak tengah menertawai kita.
Sebelum akhirnya mati,
dibunuh waktu 

Depok,
18 Maret 2014

Waktu Subuh


Oleh: Faqih Hindami

Subuh ini aku kembali bergegas pergi
Dan segala kenangan yang kemarin lusa kita bumbui dengan sesal dan canda,
telah ku pahat di kepala agar sewaktu-waktu dapat terus kita pandang.
Di dalamnya ada asa yang nyaris patah.
Ada sabar yang tak pernah mati.
Ada mantra-mantra yang kita panjatkan  di masa lalu.

Di Sebuah Pentas


Oleh: Faqih Hindami

Seorang pria tua disorot nyala-nyala lelampu
Diantara meja, kursi, pintu yang goyah dan dua orang dara tengah duduk di
sofa.
Resah, gerah, bolak-balik berlari marah-marah, ia menyebut dan mengutuk
sebuah nama yang tidak kita kenal.
Di hadapnya kita diam, di antara kelam ruang.

Memorabilia II


Oleh : Faqih Hindami

Di antara terik surya kita melangkah menyeruak masa.
Di siang hari kita menelanjangi memori yang terselip di antara kata.

Di jalan ini kita melihat masa lalu: dua  bocah dengan dahi yang dialiri peluh dan nafas  tersengal separuh, pernah berjalan gopoh memikul berat impian di pundak, melompati parit kecil, menyeberangi jembatan rapuh pada pertengahan hari.

Sejenak surya meringkuk di balik serdadu awan putih bagai kapas, menyisakan teduh
untuk kita mengenang sampai kenyang, tentang kelakar bocah-bocah di jalan, di selokan, di kolam, di sekolahan, di bawah rindang Ketapang yang daunnya gugur dan menderai dibawa angin, sebelum tawa dan gurau perlahan lenyap ditelan sore, dan mereka kembali, pulang ke rumah, menulis jalan terang untuk meraih kejora.

Surya berayun ke balik bukit-bukit, dimana nada-nada harmoni nan ceria tak lagi terdengar sejak kemarin petang. Nada-nada yang memperdengarkan emosi dan celoteh-celoteh mimpi ke telinga-telinga kita.

Kembara

Oleh : Faqih Hindami


Lari, aku ingin berlari
Menyajak manis di bawah temaram lampu-lampu Paris
Menelusuri jalan-jalan Roma, memungut tawa yang sirna
Lalu menepi ke Bora-bora lantas menuliskan cinta
Menyusuri Porto Covo dan mengabadikan rona-rona teja
Menari dan menyulut rindu di antara salju utara
Dan mencuri indah aurora di Ontario untuk memberi warna pada senyum canda

Sajak Perpisahan


Oleh : Faqih Hindami

Tak ada yang ditawarkan petang kini selain kesedihan.
Riak mata-matamu telah menjadikan  haru suasana.
Lonceng-lonceng stasiun menyanyikan lagu pengantar kepergian.
Kenapa mesti berpisah kala mulai merajut cinta?
Apa para dewa waktu mencemburui romansa kita ?

Depok,
2 Agustus 2013

Suatu Fajar di Solo


Oleh : Faqih Hindami

Fajar nautikal tiba disini membawa sunyi.
Sampaikan salam dan sapa pada jiwa-jiwa sepi.
Subuh telah pergi menyisakan banyak serpihan masa.
Tak ada yang bertanya kenapa kami cepat beranjak pergi.
Padahal dewi bertudung sutera baru saja mengukir dahiku
Dengan sebuah kenangan tak bernama.
Sebelum aku bergegas lari dari kota ini.


Solo, 20 Juli 2013

Munafik


Oleh : Faqih Hindami

Aku takkan mati kau maki.
Meski kau serigala penelan serapah,
Mencabik wajahku hingga berdarah,
Tak bisa kau paksa lidahku menyabung dengan lidahmu.
Sebab aku tak ingin menyesap liur dusta dari mulutmu yang terus mengucap surga,
Padahal kaki-kakimu menginjak bara neraka.

Amsal Serigala

Oleh : Faqih Hindami

Aku telah memberinya sulut api, lalu menawarkan minyak untuk menyalakan bara,
agar bisa membakarku sehangusnya.
Tapi ia hanya meminta batu, untuk mengasah taringnya, lalu perlahan menerkam nyawaku hingga lenyap semua.

Depok,
15 Juni 2013