Sajak
Perpisahan
Oleh : Faqih Hindami
Tak ada yang
ditawarkan petang kini selain kesedihan.
Riak mata-matamu
telah menjadikan haru suasana.
Lonceng-lonceng
stasiun menyanyikan lagu pengantar kepergian.
Kenapa mesti
berpisah kala mulai merajut cinta?
Apa para
dewa waktu mencemburui romansa kita ?
------
Sepi
sunyi menyeruak kala langkah kakimu berangsur meninggalkan seuntai rindu pada
kami yang duduk di belakangmu. Tas dan koper yang kau bawa – tidak hanya itu –
bis yang menunggumu di kejauhan seberang jalan hanya saksi bisu akan
harap-harap besar yang muncul setelah itu. Lambaianmu pada akhirnya cuma
menjadi gurauan kosong tanpa lagi ada yang menampakkannya di hadap kami. Sesaat
kemudian, telah berlalu roda-roda yang mengantarmu pergi hingga sendiri saja
kami dengan tatapan kosong tanpa arti.
Petang itu, jutaan pasukan hujan yang masih merintik di jalan-jalan Jakarta mengantarkan kepergianmu. Meresonansi ingatan
kami tentang hangat perpisahan dua tahun lalu.
Cuaca kala itu
sewajarnya membuat tubuh kita menggigil sejadi-jadinya. Tapi, entah mengapa kami merasakan kehangatan hanya dengan mendengar kelakar
kita yang lepas di perjalanan. Jujur saja, petang itu kami tidak ingin melihat
waktu akhirnya memberi jarak pada kau dan kami. Cuma pilu yang kami rasa begitu
tau itu kelakar terakhir dalam bingkisan pertemuan kita.