Powered By Blogger

Wednesday, February 18, 2015

Mengembalikan Tujuan Luhur Pendidikan

Oleh: Faqih Hindami Alwi



Ilmu meninggalkan pencarian kebenaran dan beralih untuk mencari kekuatan.” Demikian ungkapan kritis yang diutarakan oleh seorang filsuf dan penulis asal Inggris, Francis Bacon (1561-1626). Ia beranggapan, akan tiba masanya ketika ilmu tidak lagi digunakan untuk menelusuri kebenaran, tapi dimaknai sebagai alat untuk mencapai kekuatan. Dalam konteks kekinian, kekuatan yang dimaksud dapat berupa kekuatan materi atau kedudukan.
Ungkapan kritis Francis Bacon tersebut dapat kita temui hari ini di negara ini. Perlahan-lahan manusia mengedepankan pencapaian kekuatan materi sehingga mengasingkan tujuan pendidikan yang sejati. Manusia seolah tenggelam ke dalam dunia bekerja untuk mengonsumsi dan mengonsumsi untuk bekerja. Ilmu yang semestinya membebaskan manusia dari perbudakan dan menambah waktu luang, malah menggerus nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran moral, juga kepekaan sosial, sehingga manusia semakin individual. Pada akhirnya, pendidikan tidak menjadikan manusia sebagai makhluk yang benar-benar terdidik, malah menjadikannya sebagai budak materi.
Mengapa saya katakan demikian?

Sunday, February 8, 2015

Yang Ia Pendam

Oleh : Faqih Hindami
  
Telah dibutakan matanya oleh indah jingga senja nan megah.
Telah ditulikan telinganya oleh pasukan hujan yang berderap di tanah basah.
Di bawah kejayaan atap sebuah rumah ibadah,
ia memendam harapan akan kegemilangan esok pagi yang cerah.


Mesjid Universitas Indonesia,
8 Februari 2015


Wednesday, February 4, 2015

Kau

Oleh : Faqih Hindami

Kau adalah sendu sekaligus rindu.
Kenangan tentangmu mengalunkan diksi sungguh merdu.
Senyummu mengindahkan larik dengan syahdu.
Sedang aku, puisi yang tak terbaca olehmu.

Sungailiat,
4 Februari 2015

Saturday, January 31, 2015

Tegar

Oleh : Faqih Hindami

Tak menderita kah itu batu yang dicabik-cabik ombak?
Rintihnya dimusnahkan debur dan tangisnya luntur disapu buih.
Tapi ia tak jua mengesah lantas berpindah tempat.
Sementara kita terus berselisih tentang siapa yang bodoh dan bersalah

Parai, Bangka,
20  Januari 2015

Mestinya Kau Tetap Disini

Oleh : Faqih Hindami


Mestinya kau tetap disini
Menyesap hangat surya, juga sejuk yang ditiupkan embun ke tepi jalan raya, dan gemilang pagi yang dijelmakan kala malam tadi kita puas ngimpi.

Mestinya kau tetap disini
Menyaksikan ranting-ranting pohon kecil tumbuh, meneduhi tanah yang basah karna sudah terlalu banyak peluh kita yang tumpah,
mempertanyakan hidup yang cuma menimbulkan kesah.

Memorabilia III

Oleh : Faqih Hindami


Kau tetap satu yang terlintas di ingatan, ketika angin memperdengarkan senandung lembut di antara ramai. Dan dewi yang tak pernah menyerah memantulkan sinar surya itu menyapa kesendirian.

Matanya yang buram tak pernah lagi menatap senyummu yang serenyah sore.
Telinganya yang congek tak pernah lagi mendengar suaramu yang semerdu senandung peri.
Mungkin telah rapuh dirinya untuk mengingat matamu. Atau sekadar untuk mengingat percakapan di satu malam, ketika ia mengesah dan menyesali awan tebal yang mengaburkan sinar langit. Kau pun sangat tau ia tak suka awan itu menghalanginya menatap wajah bulan.