“Ilmu meninggalkan pencarian
kebenaran dan beralih untuk mencari kekuatan.” Demikian ungkapan kritis
yang diutarakan oleh seorang filsuf dan penulis asal Inggris, Francis Bacon (1561-1626).
Ia beranggapan, akan tiba masanya ketika ilmu tidak lagi digunakan untuk menelusuri
kebenaran, tapi dimaknai sebagai alat untuk mencapai kekuatan. Dalam konteks
kekinian, kekuatan yang dimaksud dapat berupa kekuatan materi atau kedudukan.
Ungkapan
kritis Francis Bacon tersebut dapat kita temui hari ini di negara ini.
Perlahan-lahan manusia mengedepankan pencapaian kekuatan materi sehingga mengasingkan
tujuan pendidikan yang sejati. Manusia seolah tenggelam ke dalam dunia bekerja
untuk mengonsumsi dan mengonsumsi untuk bekerja. Ilmu yang semestinya
membebaskan manusia dari perbudakan dan menambah waktu luang, malah menggerus
nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran moral, juga kepekaan sosial, sehingga manusia
semakin individual. Pada akhirnya, pendidikan tidak menjadikan manusia sebagai
makhluk yang benar-benar terdidik, malah menjadikannya sebagai budak materi.
Mengapa
saya katakan demikian?
Mari renungi ironi hari ini: Bukan hal yang mesti
dipungkiri bahwa ‘prospek kerja yang menjanjikan’ atau ‘jumlah upah yang
diterima dari pekerjaan’ dan semacamnya merupakan faktor yang sangat
dipertimbangkan sebagian besar pelajar sekolah menengah ketika memilih studi di
perguruan tinggi. Pertanyaan-pertanyaan seperti “akan jadi apa setelah lulus
nanti?” atau “akan bekerja dimana selepas kuliah?” adalah pertanyaan-pertanyaan
yang barangkali wajib diajukan kepada si pelajar sebelum menetapkan pilihan.
Banyak pelajar beralasan memilih lembaga pendidikan tertentu karena “lulusan
universitas itu cepat mendapatkan pekerjaan”, “kalau masuk ke sana lebih mudah
dapat jabatan”, “lulusan sekolah tinggi itu dapat kerja yang pasti dengan
penghasilan tinggi”, dan lebih banyak lagi alasan serupa. Tidak sedikit pula
yang membenarkan segala cara agar dapat diterima di lembaga pendidikan tertentu
karena alasan demikian.
Tentu
saja semuanya dilakukan demi kegemilangan masa depan si pelajar. Tidak salah
menjadikan beberapa alasan tadi sebagai pertimbangan sebelum memilih lembaga
pendidikan tertentu. Tapi juga tidak sepenuhnya benar. Hanya saja, pemikiran
semacam ini seakan menunjukkan bahwa tujuan utama pendidikan tidak lebih dari
sekadar materi, pekerjaan, atau kedudukan. Esensi tujuan luhur pendidikan
dikerdilkan dan diasingkan. Hari ini pendidikan hanya menjadi ‘pelumas’ untuk menciptakan
persaingan kerja, tidak lagi dialamatkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pendidikan yang bertujuan luhur itu tidak lagi menjadi jalan untuk menuntut
ilmu pengetahuan. Ia menjelma menjadi ajang gengsi dan persaingan yang
mengutamakan prestise, bukan prestasi. Tujuan lembaga pendidikan mengabur
sudah. Ironis.
Menurut Gilbert Highet (1906-1978),
penulis, kritikus dan akademisi Amerika Serikat, terdapat tiga kesalahan yang
menyebabkan lemahnya pendidikan hari ini. Salah satu kesalahannya adalah
pengertian yang salah bahwa proses belajar dan mengajar haruslah memperlihatkan
hasil yang segera, yang membawa kita kepada keuntungan dan keberhasilan yang
instan. Dengan begitu, pendidikan tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk
perkembangan kepribadian secara keseluruhan. Adalah tidak mungkin, bahkan tidak
dikehendaki, untuk menyatakan bahwa kebanyakan dari materi pokok pendidikan
akan menyebabkan si pelajar mendapatkan kekayaan materi pada kehidupannya atau
mendudukkannya pada suatu jabatan.
Masalah
yang diungkapkan Gilbert dapat memberikan hasil berupa kehidupan manusia yang
individual. Inikah tujuan pendidikan kita? “Pendidikan
bukan untuk mempersiapkan kehidupan, sebab pendidikan adalah kehidupan itu
sendiri.” Itulah yang dikatakan John Dewey (1859-1952), filsuf dan kritikus
pendidikan dari Amerika Serikat mengenai hakikat pendidikan.
Munafik
bila kita menganggap manusia tak memerlukan materi. Tentu, manusia memerlukan
materi, pekerjaan, dan penghasilan untuk hidup. Namun haruskah pencarian materi
mengaburkan makna pendidikan? Tentu tidak. Sebab, tidak ada dalil dan teori
yang menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah pencarian materi, sehingga
tidak perlu mencampuradukkan pencarian materi dengan hakikat pendidikan.
Dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, keadaan semacam ini pernah terjadi pada masa kolonial. Kolonialisme,
membawa dampak pada kolonisasi pendidikan, sehingga terbentuklah pola pikir
masyarakat Indonesia untuk menjadi manusia yang memiliki keahlian dan
kepandaian, tetapi tidak memiliki kemerdekaan. Muncullah, ketika itu, golongan
elit fungsionalis, yang memiliki kedudukan dan pekerjaan sebagai aparatur
negara, serta memiliki penghasilan yang menjanjikan keberlangsungan hidupnya,
namun apatis terhadap nasib bangsa.
Jika merunut lebih jauh, tentu kita
mengenal sejarah runtuhnya dua peradaban besar dalam sejarah dunia, yaitu
Yunani dan Romawi. Dua peradaban yang dalam banyak hal merupakan peradaban
paling berhasil yang pernah diketahui. Romawi adalah peradaban yang runtuh
lebih dulu ketika Yunani masih sanggup mempertahankan diri selama ribuan tahun
berikutnya. Bila menggali bukti sejarah, sangat masuk akal apabila dikatakan bahwa
hal ini terjadi karena orang-orang Romawi lebih tamak, lebih senang dengan
kekayaan dan kenikmatan, sementara orang-orang Yunani lebih suka berpikir dan
mempelajari sesuatu.
Saya
teringat akan sosok besar yang namanya abadi dalam sejarah. Presiden pertama
Republik Indonesia, Soekarno, demikian yang tercatat dalam sejarah, lepas dari
jenjang perguruan tinggi pada 1926. Sesaat setelah kelulusannya, profesornya
memberikan saran agar beliau bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Dan
beberapa tahun setelah itu, Soekarno ditawari jabatan menarik di Departemen
Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda. Tentu dengan upah yang menjanjikan,
kedudukan yang memungkinkan dirinya mengatur beberapa persoalan, dan tawaran
lain yang menguntungkan. Terlebih, ia tentunya membutuhkan uang setelah
sebelumnya gagal dua kali dengan biro arsitek yang ia dirikan. Barangkali ia
suka menerimanya, tapi ia menolak tawaran ini, karena pada dasarnya ia hidup
untuk sebuah prinsip non-koperasi. “Saya
menolak bekerja sama, supaya saya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak.
Kalau saya bekerja pada pemerintah, secara diam-diam saya membantu politik
penindasan dari rezim yang otokratis dan monopolistis itu. Pemuda sekarang
harus merombak kebiasaan menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh
gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanya.”
Begitu tukas Soekarno muda ketika diberikan saran oleh profesornya kala itu.
Lagipula bukan cita-citanya menjadi insinyur agar kaya. Cita-cita yang tetap
menjadi keyakinannya adalah membebaskan bangsa dari derita penjajahan.
Beliau
melakukan hal demikian, tentu semata-mata karena mempertahankan keyakinannya
akan tujuan menuntut ilmu. Jika saja Soekarno meyakini bahwa ilmu yang ia
pelajari cuma untuk memenuhi hasrat akan materi, tentu telah ia terima tawaran
Hindia Belanda ketika itu, dan boleh jadi namanya hari ini takkan tercatat
sebagai bapak pendiri bangsa Indonesia. Ia menuntut ilmu pengetahuan demi menemukan kebenaran dan menebarkan
manfaat kepada manusia, bukan cuma demi kemudahan menemukan pekerjaan. Demikian
jika pencarian ilmu diniatkan dengan benar. Seseorang dapat menjadi besar dan
mendapatkan kedudukan yang tinggi di mata manusia. Ia juga mendapatkan ‘pekerjaan’
yang lebih dari sekadar ‘pekerjaan’.
Masih adakah pemikiran seperti itu hari
ini? Saya rasa anda dapat menemukan jawabannya dengan mudah.
Hari ini perlu kita pahami kembali tujuan pendidikan yang
luhur itu. Pendidikan bukan ‘bui’. Justru merupakan kunci kebebasan. Pendidikan
juga bukan perkara yang menang memperoleh pekerjaan dan yang kalah menjadi
pengangguran.
Oleh karena itu, upaya meluruskan
kembali tujuan pendidikan yang sejati mesti menjadi agenda penting seluruh
masyarakat Indonesia hari ini, terutama pelajar, pendidik, dan orangtua pelajar.
Mari jauhkan pemikiran bahwa tujuan pendidikan hanyalah pekerjaan, kekayaan,
atau kedudukan. Semestinya kita sadari, bahwa ilmu pengetahuan diperoleh
bersamaan dengan tanggung jawab untuk menerapkannya dalam kehidupan. Bangsa ini
mestinya dapat perlahan mengubah sistem pendidikan yang menghasilkan persaingan
menjadi sistem pendidikan yang mengutamakan kebebasan berpikir, agar dapat
melahirkan lebih banyak kreator dan inovator, bukan melahirkan budak materi
yang mengabdikan diri pada kebahagiaan yang dangkal.
Generasi yang memahami tujuan luhur pendidikan yang sejati
akan banyak membantu bangsa meraih kejayaan. Langkah awal untuk memperbaiki
Indonesia barangkali mesti dimulai dari upaya ini. Karena boleh jadi, korupsi,
kolusi, nepotisme, dan berbagai masalah bangsa hari ini disebabkan oleh para
pembelajar yang mengutamakan pencapaian kekayaan dan kedudukan sebagai tujuan
utama pendidikan, bukan sebagai usaha menuntut ilmu dan mengabdikan dirinya
kepada masyarakat.
Sebagai penutup, mari resapi
ungkapan ilmuan Albert Einstein (1879-1955) yang mengatakan “Cobalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil,
tapi berusahalah untuk menjadi manusia yang bernilai”. Tentu saja saya
sangat sependapat dengan apa yang diungkapkannya. Sebab keberhasilan pendidikan
yang sejati ditentukan oleh seberapa besar nilai yang didapat dari penerapan
ilmu yang dimiliki untuk kebermanfaatan manusia. Bukankah begitu? Lantas, sudah
benarkah niat kita dalam menuntut ilmu pengetahuan?
No comments:
Post a Comment