Powered By Blogger

Monday, November 24, 2014

Memoar tentang Senyum-senyum Hangatmu yang Dirindu

Sajak Perpisahan
Oleh : Faqih Hindami

Tak ada yang ditawarkan petang kini selain kesedihan.
Riak mata-matamu telah menjadikan haru suasana.
Lonceng-lonceng stasiun menyanyikan lagu pengantar kepergian.
Kenapa mesti berpisah kala mulai merajut cinta?
Apa para dewa waktu mencemburui romansa kita ?

------

Sepi sunyi menyeruak kala langkah kakimu berangsur meninggalkan seuntai rindu pada kami yang duduk di belakangmu. Tas dan koper yang kau bawa – tidak hanya itu – bis yang menunggumu di kejauhan seberang jalan hanya saksi bisu akan harap-harap besar yang muncul setelah itu. Lambaianmu pada akhirnya cuma menjadi gurauan kosong tanpa lagi ada yang menampakkannya di hadap kami. Sesaat kemudian, telah berlalu roda-roda yang mengantarmu pergi hingga sendiri saja kami dengan tatapan kosong tanpa arti.

Petang itu, jutaan pasukan hujan yang masih merintik di jalan-jalan Jakarta mengantarkan kepergianmu. Meresonansi ingatan kami tentang hangat perpisahan dua tahun lalu. Cuaca kala itu sewajarnya membuat tubuh kita menggigil sejadi-jadinya. Tapi, entah mengapa kami merasakan kehangatan hanya dengan mendengar kelakar kita yang lepas di perjalanan. Jujur saja, petang itu kami tidak ingin melihat waktu akhirnya memberi jarak pada kau dan kami. Cuma pilu yang kami rasa begitu tau itu kelakar terakhir dalam bingkisan pertemuan kita.




Ingat lagi apa yang kita rasa di siang pertama. Bangga memenuhi jiwa-jiwa ini, karna pemimpin-pemimpin muda telah hadir di hadap kami. Pertemuan yang kami yakini tidak terjadi begitu saja, melainkan telah tertata dan terkonsep rapi dalam skenario Tuhan Yang Maha Indah. Emosi berkecamuk, entah senang, haru atau gugup yang mesti menyelimuti hati-hati ini. Itu pula yang kami rasa terefleksikan di semu wajahmu. Raut wajah yang lelah kusut dibedaki legam terik surya seketika berganti senyum-senyum hangat yang mengawali pertemuan kita. Senyum-senyum hangat yang terus kau simpulkan selama berada di sini. Senyum-senyum hangat yang membuat kami lupa seperti apa rasanya penat dan lelah. Terimakasih atas senyum-senyum hangat yang mengurungkan niat kami untuk menyerah kalah atas acara ini.

Segala canda dan cita yang terlepas begitu saja adalah tali yang mengikat hati-hati ini, sedang visi dan mimpi yang kita tengah daki adalah motivasi dan pengingat agar gerak kita tidak terhenti. Semua yang terjadi tetaplah hidup di dalam memori. Bawalah ia kemanapun hatimu pergi, seperti kami yang terus menjaganya di setiap langkah kaki.

Tepat tujuh hari yang lalu, senyum hangat itu terakhir kali kau berikan sebelum waktu menebar jarak. Di malam terakhir temu itu kau menitikkan air mata sendu untuk hati kami, lalu menghangatkan peluk haru untuk jiwa ini. Hari ini kamar-kamarmu telah kosong, tanpa tampak lagi wajahmu yang menebar tawa-tawa optimis untuk menyambut hari. Cuma aroma kenangan saja yang tinggal di dalamnya. Tiada lagi ketukan pintu yang menyadarkanmu dari lelap di sudut-sudut subuh. Begitu pula santap pagi yang kita sama-sama nikmati di lobi. Memoar tentangmu masih begitu kental. Keberadaanmu di ingatan tak mudah begitu saja lenyap.

Hari ini kami terbangun, ternyata surya telah menyapa dan hembusan angin menerpa tipis di kening. Kami sibuk dalam hati gusar menahan rindu menerpa seraya sesekali bertanya dalam hati “Dimana kenangan-kenangan itu berada?”.  Lalu kami buka jendela kamar itu lagi. Sketsa indah bercahaya ada disana. Kata yang mengikat mimpi-mimpi kami menjadi visi, sekarang telah dititipkan padamu:
“Pendidikan untuk Bangsaku”

Berpendidikanlah untuk bangsa. Mendidiklah untuk bangsa. Tebar kebermanfaatanmu hingga ke sudut-sudut lorong. Biar kami dan bangsa ini tau kalau kita masih punya dirimu, pemimpin muda yang menolak berhenti bergerak demi mimpi.

Pagi ini kami melaksanakan rutinitas seperti biasa di kampus perjuangan sebagaimana kau melakukannya di tempatmu. Hanya saja, hari ini kau telah tergabung dalam kepengurusan Forum OSIS Nusantara dan terikat oleh sumpah untuk mewujudkan visi kalian demi Indonesia. Jika kami boleh menitip secarik pesan untukmu, jagalah terus kehadiran sumpah itu di masing-masing jiwa ini. Berhati-hati lah membawanya. Ingat lagi visi dan impi yang menjadi pengingat kita agar tidak berhenti bersuara demi negeri.

Mohon maaf jika ucap kami mengiris hatimu, raut wajah kami menyayat rasamu, dan gerak kami cuma membuahkan kecewa. Terimakasih atas cita dan cinta yang tulus kau berikan untuk kami. Terimakasih karna telah menjadi bagian dari keluarga ini. Selamat melanjutkan kontribusi, duhai pemimpin muda. Kami selalu menunggu kabar baik darimu, apapun itu.

------

Pada Sunyi Petang
Oleh: Faqih Hindami

Telah luruh tawa yang lalu
Telah gugur sejak lama suka dan ria
Hilang sudah gurau adik yang dinanti
Tinggal saja rindu yang jadi emosi
Pada pemuda yang pergi menyisakan gulungan ombak
dan aroma angin senja di sebuah kota pesisir

Ia masih disini, belum kembali
Sambil terus menyesali tawa hampa pada petang yang sunyi
Di tengah kota yang seolah mati



Depok,
Jum'at, 21 November 2014
Panitia Indonesia Student Leadership Camp III

No comments:

Post a Comment