Sajak
Perpisahan
Oleh : Faqih Hindami
Tak ada yang
ditawarkan petang kini selain kesedihan.
Riak mata-matamu
telah menjadikan haru suasana.
Lonceng-lonceng
stasiun menyanyikan lagu pengantar kepergian.
Kenapa mesti
berpisah kala mulai merajut cinta?
Apa para
dewa waktu mencemburui romansa kita ?
------
Sepi
sunyi menyeruak kala langkah kakimu berangsur meninggalkan seuntai rindu pada
kami yang duduk di belakangmu. Tas dan koper yang kau bawa – tidak hanya itu –
bis yang menunggumu di kejauhan seberang jalan hanya saksi bisu akan
harap-harap besar yang muncul setelah itu. Lambaianmu pada akhirnya cuma
menjadi gurauan kosong tanpa lagi ada yang menampakkannya di hadap kami. Sesaat
kemudian, telah berlalu roda-roda yang mengantarmu pergi hingga sendiri saja
kami dengan tatapan kosong tanpa arti.
Petang itu, jutaan pasukan hujan yang masih merintik di jalan-jalan Jakarta mengantarkan kepergianmu. Meresonansi ingatan
kami tentang hangat perpisahan dua tahun lalu.
Cuaca kala itu
sewajarnya membuat tubuh kita menggigil sejadi-jadinya. Tapi, entah mengapa kami merasakan kehangatan hanya dengan mendengar kelakar
kita yang lepas di perjalanan. Jujur saja, petang itu kami tidak ingin melihat
waktu akhirnya memberi jarak pada kau dan kami. Cuma pilu yang kami rasa begitu
tau itu kelakar terakhir dalam bingkisan pertemuan kita.
Ingat
lagi apa yang kita rasa di siang pertama. Bangga memenuhi jiwa-jiwa ini, karna
pemimpin-pemimpin muda telah hadir di hadap kami. Pertemuan yang kami yakini
tidak terjadi begitu saja, melainkan telah tertata dan terkonsep rapi dalam
skenario Tuhan Yang Maha Indah. Emosi berkecamuk, entah senang, haru atau gugup
yang mesti menyelimuti hati-hati ini. Itu pula yang kami rasa terefleksikan di
semu wajahmu. Raut wajah yang lelah kusut dibedaki legam terik surya seketika
berganti senyum-senyum hangat yang mengawali pertemuan kita. Senyum-senyum
hangat yang terus kau simpulkan selama berada di sini. Senyum-senyum hangat
yang membuat kami lupa seperti apa rasanya penat dan lelah. Terimakasih atas
senyum-senyum hangat yang mengurungkan niat kami untuk menyerah kalah atas
acara ini.
Segala
canda dan cita yang terlepas begitu saja adalah tali yang mengikat hati-hati
ini, sedang visi dan mimpi yang kita tengah daki adalah motivasi dan pengingat
agar gerak kita tidak terhenti. Semua yang terjadi tetaplah hidup di dalam
memori. Bawalah ia kemanapun hatimu pergi, seperti kami yang terus menjaganya
di setiap langkah kaki.
Tepat tujuh
hari yang lalu, senyum hangat itu terakhir kali kau berikan sebelum waktu
menebar jarak. Di malam terakhir temu itu kau menitikkan air mata sendu untuk
hati kami, lalu menghangatkan peluk haru untuk jiwa ini. Hari ini kamar-kamarmu
telah kosong, tanpa tampak lagi wajahmu yang menebar tawa-tawa optimis untuk
menyambut hari. Cuma aroma kenangan saja yang tinggal di dalamnya. Tiada lagi ketukan
pintu yang menyadarkanmu dari lelap di sudut-sudut subuh. Begitu pula santap
pagi yang kita sama-sama nikmati di lobi. Memoar tentangmu masih begitu kental.
Keberadaanmu di ingatan tak mudah begitu saja lenyap.
Hari ini
kami terbangun, ternyata surya telah menyapa dan hembusan angin menerpa tipis
di kening. Kami sibuk dalam hati gusar menahan rindu menerpa seraya sesekali bertanya
dalam hati “Dimana kenangan-kenangan itu berada?”. Lalu kami buka jendela kamar itu lagi. Sketsa
indah bercahaya ada disana. Kata yang mengikat mimpi-mimpi kami menjadi visi, sekarang
telah dititipkan padamu:
“Pendidikan untuk Bangsaku”
Berpendidikanlah
untuk bangsa. Mendidiklah untuk bangsa. Tebar kebermanfaatanmu hingga ke
sudut-sudut lorong. Biar kami dan bangsa ini tau kalau kita masih punya dirimu,
pemimpin muda yang menolak berhenti bergerak demi mimpi.
Pagi ini
kami melaksanakan rutinitas seperti biasa di kampus perjuangan sebagaimana kau
melakukannya di tempatmu. Hanya saja, hari ini kau telah tergabung dalam
kepengurusan Forum OSIS Nusantara dan terikat oleh sumpah untuk mewujudkan visi
kalian demi Indonesia. Jika kami boleh menitip secarik pesan untukmu, jagalah
terus kehadiran sumpah itu di masing-masing jiwa ini. Berhati-hati lah membawanya.
Ingat lagi visi dan impi yang menjadi pengingat kita agar tidak berhenti bersuara
demi negeri.
Mohon
maaf jika ucap kami mengiris hatimu, raut wajah kami menyayat rasamu, dan gerak
kami cuma membuahkan kecewa. Terimakasih atas cita dan cinta yang tulus kau
berikan untuk kami. Terimakasih karna telah menjadi bagian dari keluarga ini. Selamat
melanjutkan kontribusi, duhai pemimpin muda. Kami selalu menunggu kabar baik
darimu, apapun itu.
------
Pada Sunyi Petang
Oleh: Faqih Hindami
Telah luruh tawa yang lalu
Telah gugur sejak
lama suka dan ria
Hilang sudah gurau
adik yang dinanti
Tinggal saja rindu
yang jadi emosi
Pada pemuda yang
pergi menyisakan gulungan ombak
dan aroma angin senja
di sebuah kota pesisir
Ia masih disini,
belum kembali
Sambil terus
menyesali tawa hampa pada petang yang sunyi
Di tengah kota yang
seolah mati
Depok,
Jum'at, 21 November 2014
Panitia Indonesia Student Leadership Camp III
Jum'at, 21 November 2014
Panitia Indonesia Student Leadership Camp III
No comments:
Post a Comment