Oleh : Faqih Hindami
Kau tetap
satu yang terlintas di ingatan, ketika angin memperdengarkan senandung lembut
di antara ramai. Dan dewi yang tak pernah menyerah memantulkan sinar surya itu
menyapa kesendirian.
Matanya yang
buram tak pernah lagi menatap senyummu yang serenyah sore.
Telinganya
yang congek tak pernah lagi mendengar suaramu yang semerdu senandung peri.
Mungkin
telah rapuh dirinya untuk mengingat matamu. Atau sekadar untuk mengingat
percakapan di satu malam, ketika ia mengesah dan menyesali awan tebal yang
mengaburkan sinar langit. Kau pun sangat tau ia tak suka awan itu
menghalanginya menatap wajah bulan.
Ia terus
menanti waktu membisikkan suara merdumu memanggil namanya lagi setelah sekian
lama. Ia sangat ingin mengajakmu duduk di balkon gedung seraya mengkhayal kecil
tentang keceriaan masa depan. Namun waktu cuma bisa menawarkan harapan.
Sementara masih terlalu banyak kata di antara kau dan ia yang tak tersampaikan.
Cerita
tentangmu satu-satu tumpah serupa tinta dari pena di atas kertas berdebu dan
digerogoti masa. Cuma lewat kertas itu ia bisa menatapmu kembali. Lebih
tepatnya, membaca kenangan tentangmu yang telah lama pergi.
Sungailiat,
11 Januari 2015
No comments:
Post a Comment